Kamis, 08 April 2010

Saatnya Panen Jeruk

Duuuh senangnya, jari-jariku menyentuh jeruk-jeruk yang bergelantung di ranting. Aku harus bekerja keras menghindari duri-duri tajamnya. Duri-duri tajam siap mencakar dan merobek lenganku. Rantingnya begitu rimbun penuh dengan duri. Hampir tak ada sela untuk meraih jeruk-jeruk itu. Jadi kemana tanganku menjulur, mataku harus waspada. Lena sedikit saja “SREEET” dan kata “ADUH” langsung meluncur. Bibir meringis kesakitan. Tapi ini senangnya kalau memetik sendiri. Dari kebun sendiri lagi. Bangganya... akhirnya berbuah juga setelah penantian yang lama. Ini baru jeruk nipis ya... gimana kalau yang punya pohon anggur, delima dan lain-lain.
Niat menanam jeruk bermula dari nggak ada stok di kulkas ketika dibutuhkan. Sudah masak dan waktunya sudah mepet dari jam makan siang. Giliran mencari jeruk nipis di kulkas, eeee tidak ada. Mau keluar rumah untuk pergi ke pasar? Ah... enggaklah. Kepasar hanya untuk beli jeruk dan waktunya yang nggak tepat. Suami sudah mau pulang kantor untuk makan siang. Alhasil makan siang dengan menu soto ayam tanpa jeruk nipis sebagai pelengkapnya... kurang siip ya?

Dari pengalaman itu, akhirnya kuputuskan untuk mengambil biji dari jeruk nipis yang kuperas. Kusiapkan tanah di polibag dan kutanam bijinya. Kusimpan ditempat yang teduh supaya tanahnya awet lembabnya. setiap hari disiram air dan kadang-kadang dengan air beras. Katanya sih air beras bagus untuk tanaman.
Beberapa lama kemudian mulai tumbuh daunnya. Lama-lama daunnya bertambah. Saatnya memindahan pohon jeruk yang masih muda. Tapi dengan melihat batangnya memang sepertinya sudah bisa dipindahkan ke tanah.

Hari Minggu, jadwal tukang kebun datang kerumah untuk membersihkan dan merawat pekarangan. Saatnya memberi komando ke tukang kebun untuk menggali tanah. Membuat lahan untuk tanaman baruku. Jeruk nipis. Dengan peralatan kebunnya pak Udin, tukang kebunku mulai mencangkul tanah sedalam yang dibutuhkan. Mencampur tanah dengan pupuk kandang dan kompos yang kupunya. Tanaman baru mulai dipindahkan. Untuk memberi keamanan tanaman baruku ini, pak Udin memberi pagar. Supaya tidak diganggu ayam tetangga atau terinjak tanpa sengaja.

Berbulan-bulan tanaman jeruk nipisku mlai tumbuh membesar. Pagar sudah tidak dibutuhkan lagi. Ada 2 tanaman yang ditanam. Sama-sama suburnya. Kuputuskan untuk merawat satu saja. Jadilah pak Udin menggali tanaman jeruk nipis yang satunya dan dibawa pulang. Katanya mau ditanam di pekarangannya.

Waktu berlalu, kini pohon jeruk sudah dua kali tingginya dari tinggiku. Tapi tanda-tanda berbunga belum ada. Setiap kutengok dan kulihat-lihat barangkali saja ada satu dua bunga bercokol dirantingnya. Tapi selalu saja tidak ada. Lama-lama pohon semakin tinggi. Tiga, empat, lima kali lebih tinggi dari tinggiku. Bahkan mungkin lebih. Berapa meter tinggi pohon jeruk nipisku ini ya? Tapi kok tak ada buahnya. Boro-boro buah, bunga aja tidak. Apa mandul ya? apa jenis laki-laki. Emang ada pohon jeruk laki-laki?
Yang lebih menjengkelkan lagi ketika tukang kebun bilang,

“Tebang aja ya Bu jeruknya, kayaknya nggak bisa berbuah ini Bu”

“Eh..., jangan. biarin aja. sampai kapan mau berbuah” jawabku. Enak aja main tebang.

“Soalnya jeruk yang dirumah sudah berbuah Bu, sudah lama berbuahnya”

“Ha...? kok bisa?” tanyaku heran.

“Iya Bu, ini cuma besar aja tapi nggak mau mbuah. Punya saya aja yang saya bawa dulu tingginya separohnya ini sudah berbuah”

Wah, pak Udin ini tambah bikin penasaran saja. Apa ada yang salah dengan pohon jerukku ini? Memang pohon ini besar sekali, rimbun dan tinggi.

“Tambah komposnya dan pupuk kandangnya Pak. Campurkan kesekelilingnya” Kataku memberi komando.

“Kayaknya nggak mau berbuah Bu”

Meski menjawab tapi tetep saja melaksanakan perintahku. Diambilnya pupuk kandang dan kompos persediaan. Diaduknya dan dicampurkan di sekeliling tanaman jerukku yang sudah mulai meraksasa. Ukuran pohon jeruk raksasa.

“Apa ukuran pohon ini normal ya?

Waktu berlalu, entah sudah berapa lama kutanam pohon jeruk ini. Setahun? dua tahun? Tak ada hasilnya. Pohonnya menjulang tinggi. Iseng-iseng kuhampiri dan kuamati pucuk-pucuk rantingnya. Hah, ada bunganya! Aku cepat kembali ke rumah sambil memanggil suami dan anakku. Ingin secepatnya memberitahu kalau jeruknya sudah mulai berbunga. Kami bertiga menghampiri dan mengamati pucuk-pucuk yang berbunga. Walau tidak banyak, tak sebanding dengan besarnya pohon.

Kunanti kapan bisa dipetik buahnya. Butuh waktu cukup lama. Ketika kuhampiri lagi. Aku agak kecewa. Ternyata tak semua bunganya yang tadinya sudah menjadi buah jeruk kecil-kecil tak berhasil bertahan. Bangak yang gugur dari pada yang berhasil membesar. Tapi tetap saja kubiarkan pohon jeruk tetap ada. Tetap kupertahankan, tidak boleh ditebang.

Waktu berlalu, aku sudah tak mengharapkan adanya buah jeruk nipis bergelantungan dipohonnya yang besar. Mungkin memang tak akan menghasilkan buah jeruk. Biarkan saja pohonnya hidup sebagai peneduh dan memperbanyak koleksi dipekarangan.

“Bu, jeruk dari belakang” kata pak Udin membawa beberapa buah jeruk yang jatuh dari pohonnya.

“Ada buahnya ya Pak?”

“Banyak bu, masih kecil-kecil, ini tadi jatuhan di rumput”

Segera kuikuti pak Udin yang berjalan kearah pohon jeruk nipisku. Aku terpana begitu melihat bulatan-bulatan hijau yang banyak. Ditiap tantingnya bergelantung jeruk-jeruk. Ada yang masih kecil, ada yang agak besar, ada yang sudah menguning.

“Akhirnya, berbuah juga jeruk nipisku”

Alhamdulillah, setelah sekian lama menanti dan hampir tak berharap. Kuambil kamera digital dan mulai kuambil beberapa gambarnya.

“Untuk apa Bu?” kata pak Udin melihat aksiku menjepret pohon jeruk.

“Disimpan gambarnya Pak, mau kofoto sama pohon jeruknya Pak?”
“Ah, enggak Bu”
Pak Udin cengar-cengir sambil berlalu dari arahan bidikan kameraku. Kini, sepertinya pohon jeruk nipisku ini memang baru mulai berbuah. Kalau orang mungkin dibilang bongsor dan telat gedenya. Nah, tak khawatir lagi akan kehabisan jeruk nipis. Bahkan untuk membuat es jeruk tiap haripun masih cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar