Minggu, 12 Juni 2011

rosella tampil beda

Bibit rosella yang dikasih mbak Eva, berupa pohon setinggi 15 cm-an berhasil tumbuh menjulang tinggi setelah dipindah dikebun. Hanya satu pohon. Tak apa-apalah nanti kalau mulai berbunga bisa dimanfaatkan jadi bibit. Tapi tak berapa lama, mbak Ndari memberi biji rosella siap tabur, lumayan jumlahnya, hampir segenggaman, bisa memenuhi pekarangan yang telah disiapkan. Acara menabur bibit di tanah yang sudah digemburkanpun dimulai lalu disiram supaya biji-biji masuk ke tanah dengan sendirinya. Berhari-hari menunggu, tak ada tanda-tanda ada kecambah rosella yang tumbuh, bahkan hampir sebulan juga tak ada kehidupan baru. Ini pasti gagal tanam, nanti minta bibitnya lagi. Mbak Ndari kan punya pohonnya.

Waktu berlalu, seiring dengan kesibukan yang lain, pohon Rosella yang tak tumbuh tak terpikirkan lagi, tak lagi menengok pekarangan yang bertabur biji rosella. Suatu hari pak Udin, tukang kebunku bilang, kalau tanaman rosellanya sudah numbuh dan banyak sekali. Oh iya? pikirku sambil segera menuju ke kebun. Wah iya, benar benar telah tumbuh taneman kecil-kecil sekarang, masih setinggi 3 sampai 4 cm. Butuh berapa lama lagi ya untuk menikmati bunganya. Pasti nanti akan tampak kebunku bertabur warna merah Rosella. Tak sabar menanti harinya.

Sebulan berlalu, berganti bulan berikutnya, hampir tiga bulan terlewati. Bunga Rosella mulai nampak dari ruas-ruas batangnya. Satu kupetik dan kukunyah, uh... asem sekali, kali aja enak untuk campuran sayur asem pengganti belimbing. Iya, kali aja enak yah?

Akhirnya dari semua pohon yang ada, hampir semua sudah memunculkan bunga merahnya. Cantik sekali kebunku saat ini. Dan kini saatnya kupetik semua. Mau diapakan ya, kalau tidak salah, selain dikeringkan untuk dibuat teh, bisa juga dibuat minuman, atau puding. Tapi kali ini akan kucoba membuat rujak Rosella. Enak nggak ya?

Cobek, cabe rawit, garam dan gula merah telah siap. untuk asemnya..., dengan bunga Rosella saja sudah cukup. Iya benar, dengan Rosella rasa asemnya sudah terasa. Ditumbuk-tumbuk tidak hancur, sambal rujaknya siap dicampur dengan buah lainnya, cuma sambal rujak Rosella ini agak berlendir. Tapi rasanya... tetep seger. Mau coba?










Minggu, 06 Februari 2011

“MIANA”, cantik yah namanya

Awalnya penasaran mau nanam “ROSELLA”, tanya sana, tanya sini siapa yang punya. Setiap melewat pekarangan rumah yang menanam ROSLLA, pengen rasanya mampir, ketuk pintu dan permisi minta pohonnya atau buahnya yang sudah kering supaya bisa ditanam dihalaman rumah. Tapi tak jadi kulakukan, wah... bahaya, nggak kenal kok ketuk-ketuk pintu orang. Apalagi nanti kalau yang keluar bapaknya... wah, gawat.

FB-pun jadi aksi memproklamirkan niat yang sudah diubun-ubun menginginkan ROSELLA. Siapa yang punya ya.... bagi dong!

Gayungpun bersambut, seorang teman menawarkan kebaikannya memberikan tanaman koleksinya untuk kumiliki, seorang teman yang lain menawarkan biji kering untuk dapat kutabur dihalaman rumahku, seorang yang lain lagi menginformasikan siapa-siapa yang memiliki ROSELLA. Wah.. wah.. wah.., kalau sudah rezeki, datang tak ada kendala.

Selang sehari memproklamirkan keinginan, ternyata tak hanya Rosella yang kudapatkan, ada sirih wangi, kunyit putih, ginseng, dua pohon lagi yang tak kutahu namanya dan manfaatnya, tapi yang jelas ini semua tanaman obat.

Satu pohon berdaun ungu kecoklatan bergerigi pinggirnya, kata mbak Eva yang memberi pohon ini, namanya MAYAMA. Katanya sih untuk obat batuk, apanya yang dimanfaatkan ya? Akar, daun atau batangnya ya? Terus gimana pula cara pakainya? Dihaluskan, direbus, atau dilalap? Tak ada kejelasannya. Yah, nanti bisa dicari di internet, siapa tahu masih ada manfaat lainnya dari pohon MAYAMA ini.

“MAYAMA”, klik enter. Berderet-deret gambar kartun muncul. Lhoh kok? bukan ini yang kucari. Kucari-cari, berkali-kali, tak juga nemu gambar pohon atau daun MAYAMA. Apa sih nama sebenarnya pohon ini atau nama lainnya? Search “DAUN” aja, biar kata banyak macam daun dimuka bumi, pasti adalah nyantol daun yang kumaksud.

Klik enter, bener juga, akhirnya daun yang kumaksud ada. Tapi namanya kok? Daun ILER.... hehehe... kebayang apa coba, ILER gitu loh, apa nggak salah ya kasih nama ILER? Apa karena nanti akan berliur jika diremes-remes atau dihaluskan? Kali aja.

Ada nama lainnya ternyata, yaitu : Jawer Kotok, Kentangan, Ati-ati, dan ini dia Miana. Ow.. mungkin maksud mbak Eva dulu Miana ya...

Mudah sekali hidup, tinggal potong dan tancap ke tanah. Gampang kan? Ini juga tahu tanpa sengaja. Cerita dikit ya.. pohon yang dikasih mbak Eva ini sudah meninggi, batangnya sudah seukuran jempol. Karena belum tahu manfaatnya dan cara pakainya, kubiarkan saja meninggi. Sekali waktu, kulihat Mianaku terpotong dan potongannya ditancapkan disebelahnya. Karuan aja meradang “Siapa berani-berani mengusik koleksiku tanpa ijin?”

Ternyata pembantu rumah yang sengaja mematahkan dan menancapkan. Katanya dengan enteng “nanti juga tumbuh lagi”, Wow! Enak saja ngomong, iya nanti kalau numbuh, kalau enggak?

Hari berlalu, setiap kali kulihat potongan yang ditancapkan tak menunjukkan kelayuan, alhamdulillah tidak mati dan kemudia tunas baru keluar. Begitu juga dengan batang pohon yang terpotong, mulai bercabang. Syukurlah, akhirnya rasa cemas terobati.

Ada yang beminat mengoleksinya? Manfaatnya banyak lhoh !


"MIANA" banyak manfaaatnya,
obat ambeien, sembelit, bisul, luka borok, perut mulas, terlambat haid, mata merah, keputihan.



dalam satu pohon kadang tumbuh daun dengan warna pinggirnya hijau, tapi lama-lama juga berubah mennjadi ungu kecoklatan seperti lainnya.

Sabtu, 11 Desember 2010

si cantik mulai asem

Siapa yang tak kenal belimbing wuluh? Serrrr, rasanya yang asem membuat ngilu dan langsung deras air liur jika menggigitnya. Dulu, sewaktu masih kecil, tetangga depan rumah punya pohonnya. Buahnya yang lebat selalu menarik perhatianku dan teman-teman jika melewati rumah itu, saat pintu kecilnya terbuka. Ingin sekali melihat lebih dekat lalu mengambil dengan jari-jari kecil kami. Bagaimana ya rasanya memetik dari pohonnya? Pasti menyenangkan sekali. Melihat buah-buahnya yang bergerandulan di batang-batangnya saja sudah bikin geleng-geleng kepala saking banyaknya. Dari bawah sampai pucuk yang terataspun penuh dengan buah. Ada bunga merahnya, ada yang masih kecil, ada yang sudah besar, ada yang sudah kuning, ada yang sudah empuk. Kemudian kami lihat buah-buahnya yang berjatuhan di tanah, buah-buah yang sudah besar, kuning dan empuk, berserakan ditanah dengan daun-daun kuning yang juga banyak. Rasanya sayang sekali melihat buah-buah itu berjatuhan. Kenapa tak kami saja yang mengambilnya dari pada berjatuhan? Pikir kami saat itu.

Lalu, saat kami diberi kesempatan, diperbolehkan masuk kerumah itu dan diperbolehkan mengambil buahnya oleh si empunya. Segera kami masuk, segera kami mengambil belimbing-belimbing wuluh, pelan-pelan. Kalau tak hati-hati, buahnya yang bergerombol bisa rontok semua. Kami mulai mengambil yang kecil-kecil, yang baru keluar dari bunganya karena rasanya belum begitu asem, lalu kami makan begitu saja. Tahan saja lidah dan gigi kami saat itu. Kami juga mengambil yang sudah agak besar, sedang yang telah kuning dan yang sudah empuk kami biarkan tetap dipohon. Meski sudah hati-hati, tetap saja banyak yang jatuh saat jari-jari kami menarik satu belimbing incaran, “Brull !!”, maksudnya mau mengambil satu, tapi yang terjadi, satu gerombol ikut tertarik, berjatuhanlah akhirnya. Kami punguti belimbing yang jatuh karena kesalahan kami. Setelah cukup, kamipun berjalan cepat pulang. Dua tangan kami menggenggam penuh belimbing wuluh. Kami menuju dapur, mengambil kecap dan garam, lalu kami tuang ke piring. Akhirnya, ramai-ramai kami duduk mengelilingi piring. Belimbing kami colekkan ke kecap, kami sentuhkan ke garam sedikit, lalu kami gigit “kress”... wuiiii kecutnya.... mata kami kiyer-kiyer menahan kecutnya belimbing wuluh. Kami ulangi lagi, sampai seberapa tahan memakannya. Hmm, belimbing wuluh masa kecil.

Kini, aku punya pohonnya, warisan dari teman yang dulu menempati rumah dinas ini. Pohonnya sudah besar, menjulang tinggi. Bisa kuamati dari dekat bunganya yang merah, indah menghiasi batangnya. Sebentar kemudian, akan tumbuh tonjolan kecil berwarna hijau ditengah bunga, bakal buah belimbing yang nantinya akan membesar. Sebentar kemudian lagi, batang-batang pohon akan dipenuhi belimbing-belimbing hingga pucuk tertingginya. Wah, begitu lebatnya nanti saat bunganya telah berubah menjadi belimbing semua, tak mungkin bisa menghabiskan belimbing sebegitu banyaknya. Akhirnya, terpaksa dibiarkan berjatuhan ditanah bersama guguran daun-daun kuningnya. Keadaan yang sama dengan pohon belimbing tetanggaku waktu kecil dulu.















Minggu, 11 April 2010

Belajar membuat kompos sendiri

"Ayo membuat kompos di rumah masing-masing yuk!"

"Nggak punya lahan, gimana dong?"

"Baunya itu lho, masak ngorek-ngoreh sampah?"

"Ah repot mondar-mandir keluar rumah, gali-tutup lobang!"

Waaah... tidaaaak teman-teman! Ini komentarku setelah mengamati sendiri cara membuat kompos di rumah Bapak Sabran beberapa waktu yang lalu bersama teman-teman. Ternyata kita bisa melakukan atau membuat kompos skala rumah tangga sendiri. Ternyata kita tidak perlu mempunyai lahan yang besar, tidak perlu keluar rumah dan yang lebih penting lagi caranya mudah sekali. Siapa yang mau pasti bisa mengerjakannya.

Memang sih... kalau punya pekarangan yang lumayan, sampah dapur bisa saja langsung ditaman dan lama-lama sampah tersebut akan menjadi kompos dengan sendirinya. Tapi apakah "Iya" kita bisa mengorek tanah setiap kali kita membuang sampah? Contoh soal, hanya membuang kulit jeruk, kulit pisang dan membuang sisa makan malam. Tentu akan sangat merepotkan kalau harus keluar rumah malam-malam dan mengorek tanah untuk menimbunnya. Perlu perjuangan yang sangat keras tentunya.

Nah ini ada cara yang lebih nyaman. Selain bahan atau perlengkapannya mudah didapat, pekerjaan membuat kompos ini bisa dilakukan didalam rumah. Dan lagi dapat dilakukan setiap saat seperti membuang sampah setiap harinya. Mau tahu caranya? Ini dia...

Kita siapkan wadah untuk membuat kompos. Dapat berupa keranjang plastik / tempat sampah / keranjang pakaian kotor / ember besar / pot besar yang tidak berlobang bagian bawahnya (semua memakai tutup). Kenapa memakai tutup? Tentunya selain supaya terlihat rapi, enak dilihat, yang terpenting adalah terhindar dari gangguan binatang seperti kucing, tikus, lalat, kecoa dan lain lain. Kita bisa menempatkan keranjang sampah untuk membuat kompos ini didapur supaya kegiatan membuang sampah yang kita lakukan setiap hari ringan dikerjakan. Jadi tidak perlu keluar rumah.


Kemudian masukkan kardus bekas yang dibuka penutup atas dan bawahnya ke dalam keranjang plastik tadi. Sehingga dasar dari keranjang plastik bisa dilihat dari atas. Maksud diberi kardus ini untuk menutup sisi keranjang yang berlobang-lobang. Sehingga jika kita masukkan kompos pemicu (kompos yang sudah jadi) dan bahan-bahan sayuran yang tak terpakai yang sudah dipotong tidak keluar melalui lobang-lobang keranjang tersebut. Begitu juga jika menggunakan pot besar, bagian bawah pot juga tertutup supaya kompos pemicu (kompos yang sudah jadi) tersebut tidak turun.


Setelah itu masukkan kompos pemicu (komposter / kompos yang sudah jadi) sebanyak satu plastik kemasan. Atau kira-kira setinggi 5 cm dari permukaan alas keranjang. kompos yang sudah jadi ini dapat dibeli di tempat-tempat penjualan bunga, pembibitan tanaman atau di tempat penjualan pupuk. Maksud dari pemberian kompos ini adalah untuk mempercepat proses pembusukan atau pelapukan karena didalam kompos yang sudah jadi ini terdapat banyak micro organisme yang dibutuhkan untuk mengurai bahan-bahan atau sampah sehingga sampah tersebut akan segera berubah menjadi kompos. Selain itu untuk menyerap cairan dari sayuran yang mulai membusuk.

Selanjutnya adalah memasukkan bahan-bahan yang akan diolah menjadi kompos kemudian diaduk supaya tercampur dengan komposter atau kompos pemicu tersebut. Lakukan pengadukan setiap kali memasukkan sampah. Sampah-sampah yang kita masukkan bisa berupa bonggol-bonggol sayuran sisa petikan sayuran untuk memasak, kulit jeruk, kulit wortel dan lain-lain yang sudah dipotong kecil-kecil kurang lebih 2-3 cm supaya potongan-potongan tersebut cepat terurai. Bila telah banyak sampah yang dimasukkan dan terkadang sampah ini menjadi basah karena materi sampahnya banyak kandungan air nya maka perlu ditambah kompos yang sudah jadi dan diaduk.

Langkah selanjutnya adalah menutup sampah yang sudah diaduk sampai tercampur komposter ini dengan bantalan selebar keranjang. Bantalan ini bisa terbuat dari sekam atau kulit padi yang dibungkus dengan ram plastik atau kawat nyamuk. Bantalan ini bisa juga dibuat dari busa, gabus atau steroform yang dibungkus kain, bisa juga dari bantal kain. Fungsi dari bantalan-bantalan ini (sekam atau kain atau busa ) adalah untuk menjaga suhu dalam pembuatan kompos yang bila rea ksinya benar bisa mencapai 40-60 derajat.


Dan langkah terakhir adalah menutup kardus dengan kain kasa bila perlu. Kain kasa ini gunanya untuk menghindari semut yang masuk ke keranjang kompos. Biasanya kompos ini akan didatangi semut bila kondisinya terlalu kering. Untuk menjaga kelembaban kompos ini hanya perlu dibasahi atau diperciki dengan air dan diaduk. Ingat jangan sampai kompos ini terlalu basah. Dan bila kompos ini terlalu basah karena kandungan air yang banyak dari bahan-bahan sampahnya seperti mentimun, semangka, melon dan lain lain. Maka kompos ini perlu ditambahkan komposter.

Kompos akan terbentuk pada hari ke 20-70 hari dengan ciri-ciri sampahnya telah menyerupai tanah kehitaman. Berarti kompos siap dipanen. Bila kita memerlukan kompos yang halus untuk campuran tanah dalam pot, maka kompos ini perlu disaring. Penyaringan bisa dilakukan hanya dengan penutup keranjang saja. Dan sisa dari kompos yang masih kasar ini bisa dimasukkan lagi ke dalam keranjang kompos untuk diproses menjadi kompos yang lebih sempurna.

Nah, gampang kan mengolah sampah menjadi kompos. Makanya ayuk kita secepatnya mengurangi pembuangan sampah. Selain meringankan kerja bapak-bapak pengangkut sampah, kegiatan membuat sampah ini juga mengurangi penimbunan sampah di TPA. Dan lebih penting lagi mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk membeli pupuk karena kita sudah bisa menghasilkan pupuk sendiri. Kompos skala rumah tangga. Kompos untuk menyuburkan tanah, meningkatkan unsur hara.

Kamis, 08 April 2010

Besaran oh besaran

Murbai, daunnya sebagai santapan ulat sutera. Aku tahu. Tapi murbai, yang ternyata adalah pohon yang sama dengan yang kutahu yaitu besaran. Itu baru saja kutahu. Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa murbai dan besaran adalah pohon yang sama. Ini terjadi saat mengantar suami pergi ke salon untuk potong rambut. Seingatku, dipinggir halaman salon pernah kulihat pohon besaran. Pohon yang waktu kecil sering kudatangi bersama adik-adik dan saudara serta teman-teman kampung. Mengambil buahnya untuk dimakan langsung. Mencari yang berwarna hitam dan besar. Rasanya manis. Begitu yang hitam habis kami mencari yang berwarna merah kehitaman. Rasanya sudah berkurang manisnya, rasa asamnya sudah terasa. Dan jika yang merah kehitaman juga sudah habis kami mencari yang merah saja. Begitu seterusnya sampai akhirnya kami mencari yang berwarna hijau kemerahan. Ini rasanya asem sekali. Tapi enak saja.

Kembali ke pohon besaran yang ada di salon. Suamiku sudah masuk ke ruangan untuk dipotong rambutnya. Sedang aku masih diluar. Aku berjalan kearah pinggir halaman mencari pohon besaran yang dulu sekali pernah kulihat. Dulu pohonnya besar. Sekarang kok tidak ada. Langkahku terus menuju kearah pekarangan. Kuamati daun yang tak asing lagi.

“Ini dia”

Aku berbalik menuju ke salon. Kulihat ada dua pegawai. Yang satu sedang memotong rambut suamiku dan yang satunya sedang duduk menunggu di kasir. Kuhampiri pegawai yang sedang duduk di kasir.

“Mbak, diluar ada pohon besaran. Tahu nggak mbak cara nanamnya?”

“Ow, itu ya Bu, gampang kok. Cuma ditancap aja hidup”

“Gampang ya? boleh minta ya mbak”

“Yang mana sih?” Tanya pegawai yang sedang memotong.

“Itu lho yang buahnya biasa kamu ambil dibelakang” Katanya menjawab pertanyaan.

“Ayo Bu lewat sini, saya ambilkan”

“Lho, nggak lewat depan aja mbak” Kataku, kenapa pohonnya didepan kok malah jalan ke belakang.

“Dibelakang juga ada pohonnya Bu, kita ambil yang dibelakang saja. Pohonnya sudah besar”.

Kuikuti saja apa maunya. Dan benar setelah sampai, kulihat pohon besaran yang besar. Tidak seperti yang didepan. Sepertinya yang didepan baru saja tumbuh setelah ditebang. Kulihat seorang anak kecil sedang berusaha mencari buah besaran. Sedang memilih yang berwarna hitam. Sepertiku dulu waktu kecil. Kubantu mengambilkannya. Sedang pegawai salon masuk ke dalam rumah minta bantuan untuk mengambilkan batang pohon besaran.

Ditangan anak kecil ini sudah ada segenggam besaran berwarna hitam. Tapi masih saja mencari. Wah, benar-benar sepertiku waktu kecil. Disela-sela membantu mencarikan besaran. Kumasukkan salah satu besaran kemulutku dan kukunyah. Manis!
Seorang Bapak keluar membawa parang mendekat disusul pegawai salon. Bapak ini yang akan membantu mengambilkan batang pohon besaran untukku.

“Mau untuk apa Bu, diambil daunnya apa kayunya?

“Kayunya Pak, mau saya tanam. Katanya tadi Cuma ditanam saja tumbuh”

“Iya bu, ini juga hasil nancapkan aja kok. Daunnya bagus lho Bu untuk obat”

“O iya? untuk apa ya Pak? Tanyaku penasaran.

“Untuk penyakit dalam Bu”

“Daunnya juga biasa dikasih ke ulat sutera Bu”

“Ow, ini to yang namanya murbai. Jadi murbai dan besaran itu sama”

Ow, hebat sekali ini pohon. Selain bisa dikonsumsi buahnya yang manis ternyata bisa dijadikan obat. Makin semangat saja ingin menanamnya. Beberapa batang telah diambil dari pohon dan dipotong sepanjang sekitar 40 cm. Kemudian aku diajari cara menancapkannya supaya tidak terbalik. Seperti menanam batang singkong. Kuamati benar batangnya yang terlihat ruas-ruas yang akan ditumbuhi tunas baru. Ya, tidak akan terbalik menancapkan karena begitu jelas arah daun keluar.

Kumasukkan batang-batang yang telah dipotong, ada 8 batang yang bakal kutancapkan dihalaman rumah. Aku kembali ke ruang potong rambut yang ternyata suami sudah selesai juga. Kami pulang membawa 8 batang dan 1 batang yang masih ada daun dan buahnya. Akan kutunjukkan ke bungsuku nanti.

Sesampainya dirumah dan mobil terparkir di garasi. Langsung kukeluarkan batang-batang murbai. Kupanggil bungsuku dan aku mengambil kamera digital.

“Apa ini Ma?”

“Besaran, ini daunnya untuk makanan ulat sutera” aku menjelaskan

“Ih, Mama. Emang mau diapain? Ditanam? ck ck ck... Mama ini nana aaam terus!”

“Buahnya enak lho dik, makan aja”

“Iyakah?” tanyanya ragu.

“Iya, waktu kecil dulu mama suka nyari dik”

Kuambil beberapa gambar sebelum buah dihabisi bungsuku dan daunnya disimpan. Besok hari Minggu. Biar pak Udin, tukang kebun yang menggemburkan tanahnya dan menancapkannya. Batang-batang ini disimpan saja dulu. Disiram air supaya tidak kering.

Aku masuk rumah dan langsung mencari informasi di internet mengenai murbai. Memang benar ternyata banyak sekali manfaatnya. Dari buahnya, daunnya, batangnya sampai akar bisa dimanfaatkan semua. Untuk penderita tekanan darah tinggi, memperbantak ASI, Penderita kencing nanah kulit, luka borok, digigit ular, berkeringat malam, rematik, hepattis, kurang darah, jantung lemah, napas pendek. Tentunya cara memanfaatkan murbai ini berbeda-beda tergantung kebutuhannya. Tergantung apa penyakitnya. Ada yang direbus dan diminum airnya, ada yang dimasak sebagai sayur, ada yang dihaluskan dan dibalurkan, ada yang diblender dan masih banyak lagi caranya. Jadi tak ada ruginya menanam murbai dipekarangan rumah.

Saatnya Panen Jeruk

Duuuh senangnya, jari-jariku menyentuh jeruk-jeruk yang bergelantung di ranting. Aku harus bekerja keras menghindari duri-duri tajamnya. Duri-duri tajam siap mencakar dan merobek lenganku. Rantingnya begitu rimbun penuh dengan duri. Hampir tak ada sela untuk meraih jeruk-jeruk itu. Jadi kemana tanganku menjulur, mataku harus waspada. Lena sedikit saja “SREEET” dan kata “ADUH” langsung meluncur. Bibir meringis kesakitan. Tapi ini senangnya kalau memetik sendiri. Dari kebun sendiri lagi. Bangganya... akhirnya berbuah juga setelah penantian yang lama. Ini baru jeruk nipis ya... gimana kalau yang punya pohon anggur, delima dan lain-lain.
Niat menanam jeruk bermula dari nggak ada stok di kulkas ketika dibutuhkan. Sudah masak dan waktunya sudah mepet dari jam makan siang. Giliran mencari jeruk nipis di kulkas, eeee tidak ada. Mau keluar rumah untuk pergi ke pasar? Ah... enggaklah. Kepasar hanya untuk beli jeruk dan waktunya yang nggak tepat. Suami sudah mau pulang kantor untuk makan siang. Alhasil makan siang dengan menu soto ayam tanpa jeruk nipis sebagai pelengkapnya... kurang siip ya?

Dari pengalaman itu, akhirnya kuputuskan untuk mengambil biji dari jeruk nipis yang kuperas. Kusiapkan tanah di polibag dan kutanam bijinya. Kusimpan ditempat yang teduh supaya tanahnya awet lembabnya. setiap hari disiram air dan kadang-kadang dengan air beras. Katanya sih air beras bagus untuk tanaman.
Beberapa lama kemudian mulai tumbuh daunnya. Lama-lama daunnya bertambah. Saatnya memindahan pohon jeruk yang masih muda. Tapi dengan melihat batangnya memang sepertinya sudah bisa dipindahkan ke tanah.

Hari Minggu, jadwal tukang kebun datang kerumah untuk membersihkan dan merawat pekarangan. Saatnya memberi komando ke tukang kebun untuk menggali tanah. Membuat lahan untuk tanaman baruku. Jeruk nipis. Dengan peralatan kebunnya pak Udin, tukang kebunku mulai mencangkul tanah sedalam yang dibutuhkan. Mencampur tanah dengan pupuk kandang dan kompos yang kupunya. Tanaman baru mulai dipindahkan. Untuk memberi keamanan tanaman baruku ini, pak Udin memberi pagar. Supaya tidak diganggu ayam tetangga atau terinjak tanpa sengaja.

Berbulan-bulan tanaman jeruk nipisku mlai tumbuh membesar. Pagar sudah tidak dibutuhkan lagi. Ada 2 tanaman yang ditanam. Sama-sama suburnya. Kuputuskan untuk merawat satu saja. Jadilah pak Udin menggali tanaman jeruk nipis yang satunya dan dibawa pulang. Katanya mau ditanam di pekarangannya.

Waktu berlalu, kini pohon jeruk sudah dua kali tingginya dari tinggiku. Tapi tanda-tanda berbunga belum ada. Setiap kutengok dan kulihat-lihat barangkali saja ada satu dua bunga bercokol dirantingnya. Tapi selalu saja tidak ada. Lama-lama pohon semakin tinggi. Tiga, empat, lima kali lebih tinggi dari tinggiku. Bahkan mungkin lebih. Berapa meter tinggi pohon jeruk nipisku ini ya? Tapi kok tak ada buahnya. Boro-boro buah, bunga aja tidak. Apa mandul ya? apa jenis laki-laki. Emang ada pohon jeruk laki-laki?
Yang lebih menjengkelkan lagi ketika tukang kebun bilang,

“Tebang aja ya Bu jeruknya, kayaknya nggak bisa berbuah ini Bu”

“Eh..., jangan. biarin aja. sampai kapan mau berbuah” jawabku. Enak aja main tebang.

“Soalnya jeruk yang dirumah sudah berbuah Bu, sudah lama berbuahnya”

“Ha...? kok bisa?” tanyaku heran.

“Iya Bu, ini cuma besar aja tapi nggak mau mbuah. Punya saya aja yang saya bawa dulu tingginya separohnya ini sudah berbuah”

Wah, pak Udin ini tambah bikin penasaran saja. Apa ada yang salah dengan pohon jerukku ini? Memang pohon ini besar sekali, rimbun dan tinggi.

“Tambah komposnya dan pupuk kandangnya Pak. Campurkan kesekelilingnya” Kataku memberi komando.

“Kayaknya nggak mau berbuah Bu”

Meski menjawab tapi tetep saja melaksanakan perintahku. Diambilnya pupuk kandang dan kompos persediaan. Diaduknya dan dicampurkan di sekeliling tanaman jerukku yang sudah mulai meraksasa. Ukuran pohon jeruk raksasa.

“Apa ukuran pohon ini normal ya?

Waktu berlalu, entah sudah berapa lama kutanam pohon jeruk ini. Setahun? dua tahun? Tak ada hasilnya. Pohonnya menjulang tinggi. Iseng-iseng kuhampiri dan kuamati pucuk-pucuk rantingnya. Hah, ada bunganya! Aku cepat kembali ke rumah sambil memanggil suami dan anakku. Ingin secepatnya memberitahu kalau jeruknya sudah mulai berbunga. Kami bertiga menghampiri dan mengamati pucuk-pucuk yang berbunga. Walau tidak banyak, tak sebanding dengan besarnya pohon.

Kunanti kapan bisa dipetik buahnya. Butuh waktu cukup lama. Ketika kuhampiri lagi. Aku agak kecewa. Ternyata tak semua bunganya yang tadinya sudah menjadi buah jeruk kecil-kecil tak berhasil bertahan. Bangak yang gugur dari pada yang berhasil membesar. Tapi tetap saja kubiarkan pohon jeruk tetap ada. Tetap kupertahankan, tidak boleh ditebang.

Waktu berlalu, aku sudah tak mengharapkan adanya buah jeruk nipis bergelantungan dipohonnya yang besar. Mungkin memang tak akan menghasilkan buah jeruk. Biarkan saja pohonnya hidup sebagai peneduh dan memperbanyak koleksi dipekarangan.

“Bu, jeruk dari belakang” kata pak Udin membawa beberapa buah jeruk yang jatuh dari pohonnya.

“Ada buahnya ya Pak?”

“Banyak bu, masih kecil-kecil, ini tadi jatuhan di rumput”

Segera kuikuti pak Udin yang berjalan kearah pohon jeruk nipisku. Aku terpana begitu melihat bulatan-bulatan hijau yang banyak. Ditiap tantingnya bergelantung jeruk-jeruk. Ada yang masih kecil, ada yang agak besar, ada yang sudah menguning.

“Akhirnya, berbuah juga jeruk nipisku”

Alhamdulillah, setelah sekian lama menanti dan hampir tak berharap. Kuambil kamera digital dan mulai kuambil beberapa gambarnya.

“Untuk apa Bu?” kata pak Udin melihat aksiku menjepret pohon jeruk.

“Disimpan gambarnya Pak, mau kofoto sama pohon jeruknya Pak?”
“Ah, enggak Bu”
Pak Udin cengar-cengir sambil berlalu dari arahan bidikan kameraku. Kini, sepertinya pohon jeruk nipisku ini memang baru mulai berbuah. Kalau orang mungkin dibilang bongsor dan telat gedenya. Nah, tak khawatir lagi akan kehabisan jeruk nipis. Bahkan untuk membuat es jeruk tiap haripun masih cukup.

Minggu, 07 Maret 2010

aduhai sikasku...

Memisahkan tunas-tunas dari induk sikas ternyata tak sesulit yang kuperkirakan setelah mempraktekkan atau melakukan pemisahan sendiri. He he he... tentunya ini Pak Tukang Kebun yang mengerjakannya, sedang aku dan suami hanya mengawasi dan memberi arahan supaya tak terjadi kesalahan atau kecelakaan saat memisahkannya mengingat setiap ujung daun sikas berduri dan sangat tajam. Hanya dengan menggunakan pisau besar atau linggis, tunas-tunas dapat dipisahkan dari induknya dan langsung bisa ditanam ke tanah yang tentunya telah disiapkan dengan mencampur tanah kebun, kompos, dan pupuk kandang. Pemisahan tunas ini dapat dilakukan setelah tunas cukup berumur atau cukup tua dan waktunya bisa kapanpun, pagi siang atau sore. Setelah tertanam langsung diguyur air sampai basah dan siap disiram setiap hari.

Satu sikas kumiliki dari tetangga yang akan pindah ke Bandung, namanya Ina keturunan Arab, nama suaminya Umar Muhammad. Waktu itu hanya berdaun 2 kecil-kecil dan batangnya juga masih kecil, ditanam dalam pot berdiameter kurang lebih 30 cm. Karena tak tahu cara merawatnya, maka lebih dari 2 tahun sikas kubiarkan dalam pot, kusiram setiap hari dan kuberi pupuk sekali-kali. Pertumbuhannya lambat sekali, daun-daun barunya tumbuh dengan ukuran yang juga kecil. Ini seperti bonsai sikas.

Satu sikas lagi kumiliki dari tetangga yang pensiun, namanya bu Taufik. Batangnya kecil dan berdaun 1 yang juga kecil. Sebenarnya sikas ini untuk temanku yang bernama bu Yuri. Bu Taufik tak bisa memberikan langsung ke bu Yuri karena tak ada waktu lagi untuk mengantarkan kerumahnya, maka menitipkannya padaku. Ada beberapa kali kuhubungi bu Yuri untuk mengambil titipannya.

"Ya dik, nanti tak ambilnya"

Tapi sikas ini tak pernah diambil. Setiap hari aku harus merawatnya, gimana nih kalau mati?

Setelah berlalunya waktu, aku dan suami berinisiatif mengeluarkan sikas-sikas ini dari pot dan menanamnya di halaman rumah. Harap-harap cemas, apakah dengan dipindah ke halaman, sikas-sikas ini akan tumbuh baik atau sebaliknya, gagal dan mati. Mudah-mudahan berhasil... mudah-mudahan berhasil.....

Betapa senangnya ketika melihat pertumbuhan yang begitu cepat, daun-daun barunya segera muncul. Aku dan suami semakin semangat merawatnya, sampai akhirnya daun-daun sikas semakin banyak dan batang sikas semakin membesar. Lebih senang lagi ketika melihat ada tunas kecil menempel di batang sikas.Wah, bakalan bisa punya sikas banyak nih kalau berhasil memisahkannya nanti. Kami menunggu cukup lama untuk memisahkan tunas-tunas yang tumbuh di kedua sikasku. Maklum belum punya pengalaman memisahkan, tidak tahu apakah tunas cukup siap dipisahkan.

Saatnya memisahkan tunas-tunas sikas, mudah-mudahan sudah cukup siap tunas-tunas itu. Berbekal nekat kami minta Pak Tukang Kebun memisah tunas dan menanam ke tempat yang teduh, tak lupa setelah menutup tanahnya diguyur sampai basah dengan alasan supaya tunas baru tidak kekurangan air.

Sekarang koleksi sikasku sudah banyak, tunas-tunas yang kutanam sudah siap bertunas juga. Dan induk sikas yang kutanam sebelum tahun 97 ini masih memiliki tunas-tunas yang siap dipisahkan lagi.