“Tahu Jemani?”
Ini, kejadiannya dua tahun yang lalu
Singkat, tak ada kata-kata lain yang mengawali atau mengakhiri pertanyaan itu. Ini SMS dari bapak yang memang setiap SMS selalu bercanda. Kali ini memang kukira juga lagi bercanda. Jadi SMS tak kutanggapi. Baru setelah malamnya kucoba menghubungi bapak lewat telpon rumah yang ternyata adikku yang mengangkat. Ngobrol sana-sini sampai akhirnya membicarakan SMS bapak tentang jemani. Baru kutahu, memang yang dimaksud bapak benar-benar jemani bukan kemangi seperti perkiraanku. Maklum bapak sukanya bercanda, dan setiap SMS selalu diplesetin kata-katanya.
”Solo lagi edan mbak, kedanan jemani. Tahu nggak mbak daun segedhe kuku jempol jumlahnya 3 biji harganya lima puluh ribu”
Kata adikku semangat sekali menceritakan adik-adik, ibu, dan sepupu-sepupu juga warga Solo yang lagi tersihir sama yang namanya jemani.
”Mau ikut nggak mbak bisnis jemani?, wis pokoke cepet banget jadi uangnya, coba buka internet mbak, nanti kan tahu pasar jemani”
Terus katanya lagi masih dengan berapi-apinya seperti kampanye pilpres aja.
”Orang-orang besar, penggede, pejabat baik dalam kota maupun luar kota pada berburu, pokoke Solo lagi booming banget jemani”
”Ooo, iya to” itu komentarku.
Kemudian kubuka internet, baru kutahu tanaman bernama ”jemani”. Daun-daunnya memang menggiurkan, besar-besar, dan bermacam-macam jenisnya. Tapi untuk ikut bisnis..., ah, ndaklah.
Kemudian setelah lewat dua bulan, aku kembali menghubungi bapak. Kali ini yang terima telpon bapak sendiri. Setelah berkabar-kabar, kutanyakan bagaimana bisnis jemaninya adik-adik? Wah bapak menjawab semangat sekali.
”Lha piye to, jualan jemani ki, kaya ATM”
”Gimana maksudnya pak?”
”Baru masuk rumah, sudah ada yang cari lagi, ya kalau harga mau ya langsung dikasihkan aja, ibumu itu yang untung banyak. Beli satu pohon harga 15 juta, lha kok ada yang nawar sampai 30 juta, ya namanya ibumu, ya langsung dikasihkan. Terus beli yang harga 30 juta kok ya ada yang nawar lagi sampai 45 juta, ya hayo to, silahkan dibawa pulang pohonnya dan sini uangnya. Wis pokoke ibumu lagi sugih dit”
Terus bapak mulai cerita siapa-siapa yang ikut bisnis ini, katanya kalau adik-adik ya hanya kecil-kecilan, maksimal yang harga ratusan ribu satu pohonnya. Kemudian bapak juga cerita, ada sepupu yang jualan berliannya lagi sepi, sekarang banting setir jualan pohon jemani. Sampai habis 200 juta. Wuih, pokoke gila-gilaan. Tapi bapak nggak tahu apa sepupu ini lancar juga jualannya. Yang jelas bapak cerita kalau ibu sudah balik modal, jadi pohon-pohon yang ada dirumah sekarang ini hasil keuntungannya.
Beberapa bulan kemudian, saat kutelpon lagi. Bapak kembali cerita tentang jemani.
”Ibumu sekarang jadi dokter jemani lho”
”Maksudnya apa ini pak?”
”Ibumu sekarang sudah mulai nanam sendiri dari biji, lumayan lho sudah banyak yang tumbuh, pinter kok ibumu. Tiap hari urusannya pohon terus”
”Ya syukurlah Pak kalau sukses”
”Iya, adik-adikmu sekarang juga sudah pada pinter ndeder, terus dijual kecil-kecil. Tapi adikmu jualannya bukan jemani, kalau jemani kemahalan, adikmu ndeder hokeri, hokeri yo apik kok daune. Lumayan satu pot kecil sama adikmu dijual 15 ribu”
Giliran sekarang aku berangkat cuti ke Solo, ke rumah bapak. Ketika masuk rumah, bapak ibu masih di pasar, rumah sepi, hanya pembantu-pembantu yang ada, sama keponakan-keponakan yang baru pulang dari ngaji di masjid. Kayaknya juga pada pulang duluan keponakan ini, karena melihat aku dan anak-anakku datang.
Setelah masuk ke ruang tamu, mataku langsung tertuju ke pohon-pohon berdaun besar yang ditanam di pot-pot besar dan alangkah banyaknya. Lalu kulihat juga pot-pot kecil yang jumlahnya ratusan dan juga pot-pot dari bekas gelas aqua yang jumlahnya juga ratusan. Benar-benar bisnis to iki. Nggak kubayangkan kalau sampai segitu banyaknya koleksi ibu. Wah sukses pendederan bijinya. Kalau melihat begitu banyak calon-calon pohon yang banyak, sepertinya mudah saja mengembang biakkan, tapi kenapa mahal sekali?
Malam ini, kami kumpul mengelilingi meja. Bapak, Ibu, adik-adik, aku, suami dan beberapa ipar. Kami kumpul semua, asyik bercerita tentang bisnis pohon sambil menikmati masakan kepiting yang kubawa dari Bontang.
”Mbak, bawa satu mbak. Disana sudah musim belum?”
”Wah nggak tahu ya, ada sih beberapa teman di dalam komplek yang sudah punya, tapi kalau untuk diluar komplek, malah sampai booming nggak tahu ya, kulihat yang daunnya gelombang itu lho”
Adik-adik tahu maksudku karena di rumah ibu juga ada.
”Ooo, itu namanya gelombang cinta, Gelombang cinta juga macem-macem kok mbak jenisnya. Bawa aja mbak punya ibu, nanti teman-temanmu kalau suka bisa dikirimin”
”Wah mbawanya yang repot. Naik pesawat, apalagi daunnya kan gampang robek, nggak mungkin lah. Kalau bawa ya paling bijinya. Biar kutanam aja, nanti kalau sudah besar kan bisa juga kujual, sini, aku minta bijinya aja, gimana nanamnya”
”Gampang mbak, seminggu sudah jadi kecambah, satu sampai dua bulan sudah bisa ditanam di pot aqua. Nah nanti kalau sudah agak gede baru dipindah. Medianya juga gampang kok, pakis aja dicampur kompos. Wis mesti isone mbak”
Jemani... jemani. Namamu kok ya Jemani... Hargamu kok ya mahal sekali.
Malam menjelang kepulanganku ke Bontang. Kami, Bapak, Ibu, adik-adik, aku, suami dan juga ipar-iparku, meski tidak selengkap waktu aku baru datang. Kami duduk mengelilingi meja bundar marmer. Ibu sedang membersihkan biji-bijian.
”Apa itu Bu?”
”Ini biji hokeri yang tadi baru dipanen, ini kubersihkan dulu lapisan pembungkus bijinya, besok bawa ke Bontang, tanem ya.”
”Nggih Bu”
”Apa mau bawa yang udah gede, pilih aja”
”Nggak usah Bu, repot bawanya”
”Bawa punyaku aja mbak, nggak begitu gede dan modelnya bagus, mau kuambilkan?”
”Ndak usah, ndak usah. Sudah, biji aja yang kubawa”
Akhirnya satu bungkus kubawa ke Bontang, ada hampir dua ratusan biji. Aku kemudian menyiapkan media tanam dan siap mendeder biji-biji. Maksudku aku mencoba 5 sampai 10 biji saja, tapi kata suamiku.
”Ma, ngapain ndeder Cuma sedikit, sama-sama nunggunya, kenapa nggak semua saja ditanam”
Iya juga sih, sama-sama nunggu lamanya tumbuh. Dari pada nanti bolak-balik ngurusin biji terus. Akhirnya biji kutanam semua. Kuatur berderet-deret dalam beberapa wadah, maklum ini jumlahnya hampir dua ratus biji.
Satu minggu kuamati, biji sudah mulai jadi kecambah, tapi masih kecil sekali. Lama-lama daunnya mulai tumbuh.
Sebulan, dua bulan, daun mulai besar. Siap kupindahkan ke dalam pot pot plastik dari gelas aqua. Kalau kuhitung semua yang kutanam hidup. Hanya memang yang bijinya jelek nggak bisa tumbuh, sepertinya kemudaan bijinya.
Beberapa bulan kemudian, mulai tumbuh lagi daun daun baru, setelah agak besar sedikit, barulah kupindahkan lagi. Kali ini di pot plastik agak besar. Kuhitung lagi berapa yang masih hidup. Ooo, ternyata ada satu, dua yang tidak bisa hidup bagus, dan kemudian layu. Tapi penanaman ini termasuk sukses. Dari biji yang jumlahnya hampir dua ratu yang kutanam, hanya tiga yang tak berhasil tumbuh.
Sekarang, pohon-pohon ini sudah mulai besar daunnya. Halaman rumahku sudah mulai penuh dengan pohon hokeri. Akan kukemanakan pohon ini ya? Ah, tunggu nanti kalau pas ada bazar, biasanya anak-anak SMU selalu ikut bazar atas nama Green House, akan kutitipkan pada mereka. Anak-anak SMU, teman-teman anakku. Bolehlah nanti keuntungannya dibagi.
Jemani... Hokeri... mesin pencetak uang. Bravo!
Ini, kejadiannya dua tahun yang lalu
Singkat, tak ada kata-kata lain yang mengawali atau mengakhiri pertanyaan itu. Ini SMS dari bapak yang memang setiap SMS selalu bercanda. Kali ini memang kukira juga lagi bercanda. Jadi SMS tak kutanggapi. Baru setelah malamnya kucoba menghubungi bapak lewat telpon rumah yang ternyata adikku yang mengangkat. Ngobrol sana-sini sampai akhirnya membicarakan SMS bapak tentang jemani. Baru kutahu, memang yang dimaksud bapak benar-benar jemani bukan kemangi seperti perkiraanku. Maklum bapak sukanya bercanda, dan setiap SMS selalu diplesetin kata-katanya.
”Solo lagi edan mbak, kedanan jemani. Tahu nggak mbak daun segedhe kuku jempol jumlahnya 3 biji harganya lima puluh ribu”
Kata adikku semangat sekali menceritakan adik-adik, ibu, dan sepupu-sepupu juga warga Solo yang lagi tersihir sama yang namanya jemani.
”Mau ikut nggak mbak bisnis jemani?, wis pokoke cepet banget jadi uangnya, coba buka internet mbak, nanti kan tahu pasar jemani”
Terus katanya lagi masih dengan berapi-apinya seperti kampanye pilpres aja.
”Orang-orang besar, penggede, pejabat baik dalam kota maupun luar kota pada berburu, pokoke Solo lagi booming banget jemani”
”Ooo, iya to” itu komentarku.
Kemudian kubuka internet, baru kutahu tanaman bernama ”jemani”. Daun-daunnya memang menggiurkan, besar-besar, dan bermacam-macam jenisnya. Tapi untuk ikut bisnis..., ah, ndaklah.
Kemudian setelah lewat dua bulan, aku kembali menghubungi bapak. Kali ini yang terima telpon bapak sendiri. Setelah berkabar-kabar, kutanyakan bagaimana bisnis jemaninya adik-adik? Wah bapak menjawab semangat sekali.
”Lha piye to, jualan jemani ki, kaya ATM”
”Gimana maksudnya pak?”
”Baru masuk rumah, sudah ada yang cari lagi, ya kalau harga mau ya langsung dikasihkan aja, ibumu itu yang untung banyak. Beli satu pohon harga 15 juta, lha kok ada yang nawar sampai 30 juta, ya namanya ibumu, ya langsung dikasihkan. Terus beli yang harga 30 juta kok ya ada yang nawar lagi sampai 45 juta, ya hayo to, silahkan dibawa pulang pohonnya dan sini uangnya. Wis pokoke ibumu lagi sugih dit”
Terus bapak mulai cerita siapa-siapa yang ikut bisnis ini, katanya kalau adik-adik ya hanya kecil-kecilan, maksimal yang harga ratusan ribu satu pohonnya. Kemudian bapak juga cerita, ada sepupu yang jualan berliannya lagi sepi, sekarang banting setir jualan pohon jemani. Sampai habis 200 juta. Wuih, pokoke gila-gilaan. Tapi bapak nggak tahu apa sepupu ini lancar juga jualannya. Yang jelas bapak cerita kalau ibu sudah balik modal, jadi pohon-pohon yang ada dirumah sekarang ini hasil keuntungannya.
Beberapa bulan kemudian, saat kutelpon lagi. Bapak kembali cerita tentang jemani.
”Ibumu sekarang jadi dokter jemani lho”
”Maksudnya apa ini pak?”
”Ibumu sekarang sudah mulai nanam sendiri dari biji, lumayan lho sudah banyak yang tumbuh, pinter kok ibumu. Tiap hari urusannya pohon terus”
”Ya syukurlah Pak kalau sukses”
”Iya, adik-adikmu sekarang juga sudah pada pinter ndeder, terus dijual kecil-kecil. Tapi adikmu jualannya bukan jemani, kalau jemani kemahalan, adikmu ndeder hokeri, hokeri yo apik kok daune. Lumayan satu pot kecil sama adikmu dijual 15 ribu”
Giliran sekarang aku berangkat cuti ke Solo, ke rumah bapak. Ketika masuk rumah, bapak ibu masih di pasar, rumah sepi, hanya pembantu-pembantu yang ada, sama keponakan-keponakan yang baru pulang dari ngaji di masjid. Kayaknya juga pada pulang duluan keponakan ini, karena melihat aku dan anak-anakku datang.
Setelah masuk ke ruang tamu, mataku langsung tertuju ke pohon-pohon berdaun besar yang ditanam di pot-pot besar dan alangkah banyaknya. Lalu kulihat juga pot-pot kecil yang jumlahnya ratusan dan juga pot-pot dari bekas gelas aqua yang jumlahnya juga ratusan. Benar-benar bisnis to iki. Nggak kubayangkan kalau sampai segitu banyaknya koleksi ibu. Wah sukses pendederan bijinya. Kalau melihat begitu banyak calon-calon pohon yang banyak, sepertinya mudah saja mengembang biakkan, tapi kenapa mahal sekali?
Malam ini, kami kumpul mengelilingi meja. Bapak, Ibu, adik-adik, aku, suami dan beberapa ipar. Kami kumpul semua, asyik bercerita tentang bisnis pohon sambil menikmati masakan kepiting yang kubawa dari Bontang.
”Mbak, bawa satu mbak. Disana sudah musim belum?”
”Wah nggak tahu ya, ada sih beberapa teman di dalam komplek yang sudah punya, tapi kalau untuk diluar komplek, malah sampai booming nggak tahu ya, kulihat yang daunnya gelombang itu lho”
Adik-adik tahu maksudku karena di rumah ibu juga ada.
”Ooo, itu namanya gelombang cinta, Gelombang cinta juga macem-macem kok mbak jenisnya. Bawa aja mbak punya ibu, nanti teman-temanmu kalau suka bisa dikirimin”
”Wah mbawanya yang repot. Naik pesawat, apalagi daunnya kan gampang robek, nggak mungkin lah. Kalau bawa ya paling bijinya. Biar kutanam aja, nanti kalau sudah besar kan bisa juga kujual, sini, aku minta bijinya aja, gimana nanamnya”
”Gampang mbak, seminggu sudah jadi kecambah, satu sampai dua bulan sudah bisa ditanam di pot aqua. Nah nanti kalau sudah agak gede baru dipindah. Medianya juga gampang kok, pakis aja dicampur kompos. Wis mesti isone mbak”
Jemani... jemani. Namamu kok ya Jemani... Hargamu kok ya mahal sekali.
Malam menjelang kepulanganku ke Bontang. Kami, Bapak, Ibu, adik-adik, aku, suami dan juga ipar-iparku, meski tidak selengkap waktu aku baru datang. Kami duduk mengelilingi meja bundar marmer. Ibu sedang membersihkan biji-bijian.
”Apa itu Bu?”
”Ini biji hokeri yang tadi baru dipanen, ini kubersihkan dulu lapisan pembungkus bijinya, besok bawa ke Bontang, tanem ya.”
”Nggih Bu”
”Apa mau bawa yang udah gede, pilih aja”
”Nggak usah Bu, repot bawanya”
”Bawa punyaku aja mbak, nggak begitu gede dan modelnya bagus, mau kuambilkan?”
”Ndak usah, ndak usah. Sudah, biji aja yang kubawa”
Akhirnya satu bungkus kubawa ke Bontang, ada hampir dua ratusan biji. Aku kemudian menyiapkan media tanam dan siap mendeder biji-biji. Maksudku aku mencoba 5 sampai 10 biji saja, tapi kata suamiku.
”Ma, ngapain ndeder Cuma sedikit, sama-sama nunggunya, kenapa nggak semua saja ditanam”
Iya juga sih, sama-sama nunggu lamanya tumbuh. Dari pada nanti bolak-balik ngurusin biji terus. Akhirnya biji kutanam semua. Kuatur berderet-deret dalam beberapa wadah, maklum ini jumlahnya hampir dua ratus biji.
Satu minggu kuamati, biji sudah mulai jadi kecambah, tapi masih kecil sekali. Lama-lama daunnya mulai tumbuh.
Sebulan, dua bulan, daun mulai besar. Siap kupindahkan ke dalam pot pot plastik dari gelas aqua. Kalau kuhitung semua yang kutanam hidup. Hanya memang yang bijinya jelek nggak bisa tumbuh, sepertinya kemudaan bijinya.
Beberapa bulan kemudian, mulai tumbuh lagi daun daun baru, setelah agak besar sedikit, barulah kupindahkan lagi. Kali ini di pot plastik agak besar. Kuhitung lagi berapa yang masih hidup. Ooo, ternyata ada satu, dua yang tidak bisa hidup bagus, dan kemudian layu. Tapi penanaman ini termasuk sukses. Dari biji yang jumlahnya hampir dua ratu yang kutanam, hanya tiga yang tak berhasil tumbuh.
Sekarang, pohon-pohon ini sudah mulai besar daunnya. Halaman rumahku sudah mulai penuh dengan pohon hokeri. Akan kukemanakan pohon ini ya? Ah, tunggu nanti kalau pas ada bazar, biasanya anak-anak SMU selalu ikut bazar atas nama Green House, akan kutitipkan pada mereka. Anak-anak SMU, teman-teman anakku. Bolehlah nanti keuntungannya dibagi.
Jemani... Hokeri... mesin pencetak uang. Bravo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar