Lalu, saat kami diberi kesempatan, diperbolehkan masuk kerumah itu dan diperbolehkan mengambil buahnya oleh si empunya. Segera kami masuk, segera kami mengambil belimbing-belimbing wuluh, pelan-pelan. Kalau tak hati-hati, buahnya yang bergerombol bisa rontok semua. Kami mulai mengambil yang kecil-kecil, yang baru keluar dari bunganya karena rasanya belum begitu asem, lalu kami makan begitu saja. Tahan saja lidah dan gigi kami saat itu. Kami juga mengambil yang sudah agak besar, sedang yang telah kuning dan yang sudah empuk kami biarkan tetap dipohon. Meski sudah hati-hati, tetap saja banyak yang jatuh saat jari-jari kami menarik satu belimbing incaran, “Brull !!”, maksudnya mau mengambil satu, tapi yang terjadi, satu gerombol ikut tertarik, berjatuhanlah akhirnya. Kami punguti belimbing yang jatuh karena kesalahan kami. Setelah cukup, kamipun berjalan cepat pulang. Dua tangan kami menggenggam penuh belimbing wuluh. Kami menuju dapur, mengambil kecap dan garam, lalu kami tuang ke piring. Akhirnya, ramai-ramai kami duduk mengelilingi piring. Belimbing kami colekkan ke kecap, kami sentuhkan ke garam sedikit, lalu kami gigit “kress”... wuiiii kecutnya.... mata kami kiyer-kiyer menahan kecutnya belimbing wuluh. Kami ulangi lagi, sampai seberapa tahan memakannya. Hmm, belimbing wuluh masa kecil.
Kini, aku punya pohonnya, warisan dari teman yang dulu menempati rumah dinas ini. Pohonnya sudah besar, menjulang tinggi. Bisa kuamati dari dekat bunganya yang merah, indah menghiasi batangnya. Sebentar kemudian, akan tumbuh tonjolan kecil berwarna hijau ditengah bunga, bakal buah belimbing yang nantinya akan membesar. Sebentar kemudian lagi, batang-batang pohon akan dipenuhi belimbing-belimbing hingga pucuk tertingginya. Wah, begitu lebatnya nanti saat bunganya telah berubah menjadi belimbing semua, tak mungkin bisa menghabiskan belimbing sebegitu banyaknya. Akhirnya, terpaksa dibiarkan berjatuhan ditanah bersama guguran daun-daun kuningnya. Keadaan yang sama dengan pohon belimbing tetanggaku waktu kecil dulu.